Dahlan Iskan
Kamis, 23 Agustus 2012
Makkah-Aqsa-Baghda
’’Dari Indonesia,’’ jawab saya.
’’Muslim?’’ tanya tentara Israel bersenjata itu.
’’Yes,’’ jawab saya.
Kami pun bisa dengan mudah melewati gerbang tua dengan tembok yang
tebal dan kukuh itu. Gerbang yang dijaga tentara Israel bersenjata.
Itulah gerbang masuk ke kawasan yang luasnya sekitar 10 lapangan sepak
bola. Yang di dalamnya terdapat taman dan pepohonan.
Di tengah taman itu terdapat masjid besar berkubah kuning. Itulah
Masjid Kubah Batu. Tidak jauh dari situ, terlihat satu masjid besar
lagi: itulah Masjid Al Aqsa. Tembok yang mengelilingi kawasan itu
terlihat tinggi, tebal, dan terkesan sangat kuno. Dari luar, tembok
tersebut tidak terlihat karena tertutup perkampungan yang padat, yang
sampai menempel ke tembok.
Dari arah Kota Jerusalem, untuk mencapai gerbang itu, harus jalan
kaki melewati gang-gang kecil yang sambung-menyambung. Juga naik turun
dan berliku-liku. Itulah perkampungan yang hampir 100 persen
penduduknya merupakan warga Palestina. Tukang cukur, penjual makanan
dan mainan anak-anak, serta toko kelontong terlihat di sepanjang gang
itu.
Melewati gang-gang menuju gerbang Baitul Maqdis, saya teringat
bagaimana masuk ke Masjid Ampel Surabaya yang harus melewati kampung
Arab yang padat. Ya mirip itulah.
Bagi penduduk kampung itu, tidak ada larangan apa pun untuk melewati
gerbang tersebut. Mereka memiliki KTP berwarna biru. Mereka bisa salat
di Baitul Maqdis (baik di Masjid Kubah Batu maupun di Masjid Al Aqsa)
kapan saja.
Tapi, bagi warga di luar kampung tua tersebut, ada peraturan khusus:
yang berumur kurang dari 40 tahun tidak boleh masuk. Otomatis juga
dilarang salat di sana. Untuk mengontrol mereka, warna KTP-nya
dibedakan: hijau. Itu merupakan dalih Israel untuk mencegah berkumpulnya
pejuang Palestina dari berbagai penjuru di Masjid Al Aqsa.
Ada tujuh gerbang masuk ke kawasan Baitul Maqdis tersebut. Semua
terhubung dengan gang-gang kecil perkampungan padat Palestina. Semua
dijaga tentara Israel bersenjata. Kalau saja lebih terurus, kawasan di
dalam tembok tua tersebut akan sangat indah. Taman-tamannya yang luas
dipisahkan jalan-jalan kecil yang terbuat dari batu. Hanya, kurang rapi
dan kurang bersih.
Hari itu, hari ke-28 bulan puasa, saya tiba di sana langsung dari
perbatasan Israel-Jordania. Saya tidak mampir hotel dengan maksud
mengejar salat Duhur berjamaah. Tapi telat.
Tapi, ada hikmahnya. Saya bisa salat Duhur bersama keluarga di Masjid
Kubah Batu. Laki-laki memang hanya diizinkan memasuki Masjid Kubah Batu
di antara waktu duhur dan asar. Masjid Kubah Batu itu istimewa
karena ada bukit batu di tengah-tengahnya. Bukit batu tersebut
dikelilingi tembok setinggi 3 meter, sehingga jamaah di sana seperti
berjajar melingkarinya.
Dari atas bukit batu itulah Nabi Muhammad SAW ’’naik’’ ke Sidratul
Muntaha, menghadap Allah SWT. Yakni, untuk menerima perintah kewajiban
menjalankan salat lima kali sehari. Peristiwa itu terjadi pada malam
tanggal 27 Rajab, yang kemudian tiap tahun diperingati sebagai Isra
Mikraj.
Waktu peristiwa Isra Mikraj itu terjadi, tentu belum ada bangunan apa
pun di situ. Masjid Kubah Batu tersebut baru dibangun belakangan. Di
bawah bukit batu tersebut terdapat pula gua yang besarnya cukup untuk
bersembunyi 10 orang. Konon, Nabi Ibrahim yang menggalinya.
Kini masjid Kubah Batu hanya untuk perempuan. Imamnya ikut imam
Masjid Al Aqsa dengan pengeras suara yang dialirkan ke masjid itu. Jarak
Masjid Kubah Batu dengan Masjid Al Aqsa memang hanya sekitar 300 meter.
Al Aqsa lebih di bawah.
Tiga Risiko
Seusai salat Duhur di Masjid Kubah Batu, kami jalan-jalan melihat
sisi luar tembok kuno yang mengelilingi kawasan tersebut. Ada satu
kawasan di luar tembok yang bisa dibebaskan dari perumahan Palestina.
Itulah bagian luar tembok yang kemudian dijadikan tempat ibadah orang
Yahudi. Mereka antre menuju tembok itu, menangis dan meratap di situ.
Sore itu kami salat Asar di Masjid Al Aqsa. Waktu magrib kami ke masjid
itu lagi. Disambung salat Isya dan Tarawih. Tarawih di sana sama
dengan di Makkah, yakni 20 rakaat. Bacaan suratnya pun sangat panjang.
Tapi lebih cepat. Bedanya, di setiap habis dua rakaat diselingi salawat
Nabi.
Jamaah Tarawih malam itu sekitar 1.500 orang. Hanya, setiap selesai
dua rakaat, ada saja yang meninggalkan masjid. Selesai rakaat ke-10,
tinggal separo masjid terisi.
Di Al Aqsa, mayoritas jamaah mengenakan celana biasa (banyak bercelana
jins atau celana anak muda setengah kaki). Hanya beberapa orang yang
mengenakan penutup kepala. Menjelang subuh, saya ke Masjid Al Aqsa
lagi. Genaplah saya salat lima waktu di Al Aqsa.
Menjelang matahari terbit, saya duduk-duduk di pelataran masjid.
Demikian juga puluhan anak muda. Udaranya sejuk. Pepohonan besar terasa
seperti mengeluarkan oksigen lebih banyak.
Saat duduk-duduk itulah saya tahu, ternyata cukup banyak anak muda
yang ber-KTP hijau. Kok bisa masuk ke sini? ’’Loncat pagar kawat
berduri,’’ ujar pemuda 27 tahun tersebut.
’’Saya melewati lubang yang saya buat di bawah pagar,’’ ujar pemuda di sebelahnya.
’’Kalau saya memanfaatkan jarak kawat yang agak renggang yang cukup
untuk badan saya,’’ kata seorang pemuda yang ternyata dokter.
Mereka itu adalah pemuda-pemuda Palestina yang sangat merindukan
salat di Masjid Al Aqsa. ’’Sejak adanya larangan anak muda datang ke
sini, baru sekali ini saya ke Masjid Al Aqsa,’’ ungkapnya.
Al Aqsa tentu sangat istimewa. Itulah infrastruktur pertama yang
pernah dibangun di muka bumi. Yakni, 40 tahun setelah pembangunan Kakbah
yang pertama. Al Aqsa maupun Kakbah sama-sama sudah mengalami
berkali-kali pembangunan kembali. Setelah rusak oleh gempa maupun
banjir. Dua-duanya dipercaya dibangun malaikat sebelum Nabi Adam turun
ke bumi.
Keistimewaan Al Aqsa itulah yang membuat para pemuda Palestina
tersebut mengambil risiko yang berat untuk bisa salat malam tanggal 27
Ramadan di dalamnya. Al Aqsa adalah tempat suci mereka dan ibu kota
negara mereka. Sejak Israel membangun perumahan Yahudi di tanah
Palestina, perkampungan orang Palestina dipagari kawat berduri. Itu
dilakukan untuk memisahkan mereka dari kampung Yahudi.
UUD Israel memang menyebutkan: orang Yahudi dari mana pun yang mau
datang ke tanah Palestina disediakan rumah, mobil, dan keperluan
hidupnya. Sejak itu, perkampungan Yahudi terus dibangun di tanah
Palestina. Orang-orang Palestina sendiri untuk bisa keluar dari
kampungnya harus lewat pos penjagaan ketat. Atau meloncati pagar.
Untuk datang ke Masjid Al Aqsa, misalnya, mereka menempuh tiga
risiko. Pertama, bagaimana bisa keluar kampung dengan meloncat pagar.
Kedua, bagaimana bisa berjalan kaki jauh, naik turun bukit, untuk
mencapai Al Aqsa. Bisa saja di tengah jalan mereka ditangkap. Ketiga,
bagaimana dengan KTP hijau mereka bisa melewati penjagaan tentara
bersenjata di gerbang masuk Baitul Maqdis.
Israel menduduki tanah Palestina sejak 1947/1948. Waktu itu, kawasan
tersebut menjadi jajahan Inggris. Ketika orang Yahudi dimusuhi di
mana-mana (terutama di Jerman dan Rusia), pemerintah Inggris memutuskan
untuk memberikan negara kepada orang Yahudi. Pilihannya dua. Dua-duanya
di wilayah jajahan Inggris: Uganda atau Palestina.
Semula Inggris menentukan Uganda di Afrika. Tapi, Yahudi menolak.
Mereka memilih tanah Palestina. Yahudi percaya Jerusalem adalah tanah
leluhur mereka. Sejak itulah tidak pernah ada ketenteraman di Timur
Tengah.
Pemuda yang loncat pagar itu lantas menyingsingkan celananya. ’’Lihat
ini,’’ katanya. Terlihat luka-luka baru masih menyisakan darah yang
mulai mengering. Bekas goresan pagar kawat berduri itu terlihat
memanjang sampai dekat lututnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar